Minggu, 02 Januari 2011

Etika Bisnis dalam Perpektif Islam

Wacana Etika dalam Bisnis
Perbincangan tentang "etika bisnis" di sebagian besar paradigma pemikiran pebisnis terasa kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya sendiri) atau oxymoron ; mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling tidak) "bertangan kotor".

Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila "beretika" maka bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang nir normative dan hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.
Begitu kuatnya oxymoron itu, muncul istilah business ethics atau ethics in business. Sekitar dasawarsa 1960-an, istilah itu di Amerika Serikat menjadi bahan controversial. Orang boleh saja berbeda pendapat mengenai kondisi moral lingkungan bisnis tertentu dari waktu ke waktu. Tetapi agaknya kontroversi ini bukanya berkembang ke arah yang produktif, tapi malah semakin menjurus ke suasana debat kusir.
Wacana tentang nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut berperan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat tertentu, telah banyak digulirkan dalam masyarakat ekonomi sejak memasauki abad modern, sebut saja Misalnya, Max weber dalam karyanya yang terkenal, The Religion Ethic and the Spirit Capitaism, meneliti tentang bagaimana nilai-nilai protestan telah menjadi kekuatan pendorong bagi tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa barat dan kemudian Amerika. Walaupun di kawasan Asia (terutama Cina) justru terjadi sebaliknya sebagaimana yang ditulis Weber. Dalam karyanya The Religion Of China: Confucianism and Taoism, Weber mengatakan bahwa etika konfusius adalah salah satu faktor yang menghambat tumbuhnya kapitalisme nasional yang tumbuh di China. Atau yang lebih menarik barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam bukunya China and The Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi tesisnya weber yang terakhir.
Di sisi lain dalam tingkatan praktis tertentu, studi empiris tentang etika usaha (bisnis) itu akan banyak membawa manfaat: yang bisa dijadikan faktor pendorong bagi tumbuhnya ekonomi, taruhlah dalam hal ini di masyarakat Islam. Tetapi studi empiris ini bukannya sama sekali tak bermasalah, terkadang, karena etika dalam ilmu ini mengambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi positivistis), maka temuan hasil setudi netral itu sepertinya kebal terhadap penilaian-penilaian etis.
Menarik untuk di soroti adalah bagaimana dan adakah konsep Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong bangkitnya roda ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi bisnis Islami adalah bahwa, dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah konsepi hubungan manusia dengan mansuia, lingkungannya serta manusai dengan Tuhan (Hablum minallah dan hablum minannas). Dengan kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang Pencipta.

Etika Islam Tentang Bisnis
Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui

Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keluru terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah pernyataannya.
"Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia)."

Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun duinia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda :
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu."

Pernyataan Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa dismping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuantentang etika itu sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika. Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukakan aktifitas apapun ( termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis kasus Jepang setidaknya telah membuktikan keyakinan ini, bahwa motivasi prilaku ekonomi yang memiliki tujuan lebih besar dan tinggi (kesetiaan pada norma dan nilai etika yang baik) ketimbang bisnis semata, ternyata telah mampu mengungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti Amerika) yang hampir semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme serta menafikan aspek spiritulualisme. Jika fakta empiris ini masih bisa diperdebatkan dalam penafsirannya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di negara China, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam, bahwa tidak semua pengusaha China perantauan mempunyai hubungan pribadi dengan pejabat pemerintah yang berpeluang KKN, pada kenyataannya ini malah mendorong mereka untuk bekerja lebih keras lagi untuk menjalankan bisnisnya secara professional dan etis, sebab tak ada yang bisa diharapkan kecuali dengan itu, itulah sebabnya barangkali kenapa perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya tidak punya skil khusus, kini memiliki kekuatan manajemen dan prospek yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang dibangunnya
Demikianlah, satu ilustrasi komperatif tentang prinsip moral Islam yang didasarkan pada keimanan kepada akhirat, yang diharapkan dapat mendorong prilaku positif di dunia, anggaplah ini sebagai prinsip atau filsafah moral Islam yang bersifat eskatologis, lalu pertanyaan lebih lanjut apakah ada falsafah moral Islam yang diharapkan dapat mencegah prilaku curang muslim, jelas ada, Al-Qur'an sebagaimana Adam Smith mengkaitkan system ekonomi pasar bebas dengan "hukum Kodrat tentang tatanan kosmis yang harmonis". Mengaitkan kecurangan mengurangi timbangan dengan kerusakan tatanan kosmis, Firman-Nya : "Kami telah menciptakan langit dan bumi dengan keseimbangan, maka janganlah mengurangi timbangan tadi." Jadi bagi Al-Qur'an curang dalam hal timbangan saja sudah dianggap sama dengan merusak keseimbangan tatanan kosmis, Apalagi dengan mendzhalimi atau membunuh orang lain merampas hak kemanusiaan orang lain dalam sektor ekonomi)
Firman Allah : "janganlah kamu membunuh jiwa, barangsiapa membunuh satu jiwa maka seolah dia membunuh semua manusia (kemanusiaan)"

Sekali lagi anggaplah ini sebagai falsafah moral Islam jenis kedua yang didasarkan pada tatanan kosmis alam.
Mungkin kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan bersifat metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika ilmu ekonomi tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimplikasikan akan niscayanya sebuah "keseimbangan" (apapun bentuknya bagi kehidupan ini), Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku curang dipasar tidak turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu dianggap sepele, tetapi jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-mana dan lama kelamaan berubah menjadi semacam norma juga, maka jelas kelumrahan perilaku orang itu akan merusak alam, apalagi jika yang terlibat adalah orang-orang yang punya peran tanggung jawab yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak orang dan juga alam keseluruhan.
Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan ini setiap manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilema etis antara harus memilih keputusan etis dan keputusan bisnis sempit semata sesuai dengan lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi diatas, maka percayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis.
Wallahu 'A'lam. (Ditulis oleh DR. Achmad Kholiq)

Data di ambil dari http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/ekonomi-syariah/1263-etika-bisnis-dalam-perpektif-islam

Prinsip Ekonomi Islam Utamakan Moral dan Etika dalam Berbisnis

Sistem ekonomi kapitalis yang dianut sebagian besar negara di dunia dipercaya sebagai salah satu penyebab paling dominan terjadinya krisis ekonomi global. Kapitalisme yang hanya berorientasi pada pasar dan keuntungan tidak menerapkan sistem moral dalam menjalankan praktik bisnisnya. Hal inilah yang menyebabkan hancurnya perekonomian sejumlah negara dan maraknya pelaku bunuh diri akibat tanggungan kerugian yang begitu besar.

Dr. Phil Peter Schmiedel saat memaparkan materinya mengatakan, nilai-nilai Islam dapat diterapkan ke seluruh dunia agar tercipta ekonomi yang bermoral dan berkeadilan. Perbincangan mengenai perlunya sistem moral dan etika dalam berbisnis itu
dibahas dalam Seminar dan Lokakarya “Sharia Economics” dengan tema “Economic and Business Ethnic in Islam and Western Civilization: Contribution to Global
Business Governance After Crisis”.

Kegiatan yang digagas Pusat Studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi (FE) Unpad tersebut berlangsung Rabu (2/09) di Ruang Multimedia FE Unpad dan dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai instansi. “Penelitian yang dilakukan Jeffrey Seglin dalam artikelnya berjudul Do It Right pada November 2001 menyebutkan bahwa perusahaan yang mengedepankan etika dan moral dalam berbisnis lebih berhasil dibanding perusahaan yang hanya mengejar profit. Dari penelitian tersebut jelas bahwa etika dalam melakukan kegiatan ekonomi harus menjadi suatu kebutuhan,” ungkap salah satu pembicara, Yunizar, Ph.D. yang juga merupakan dosen FE Unpad.

Ia menyebut bahwa selama abad 20, tidak kurang dari 32 krisis ekonomi global melanda dunia. Menurutnya, krisis ekonomi global yang melanda dunia sangat dimungkinkan oleh praktik-praktik bisnis yang tidak mengedepankan moral sebagai sistem nilai. “Dengan kata lain, krisis yang terjadi lebih disebabkan semakin jauhnya praktik-praktik bisnis dari nilai dan aturan Ilahi,” tuturnya. Dalam paparannya berjudul “Relevansi Etika Bisnis dalam Bisnis Global: Perspektif Islam”, Yunizar, Ph.D. mengungkapkan bahwa pentingnya etika dalam berbisnis semakin meluas sebagai respon terhadap gelombang skandal korporasi dari tahun 1980 hingga sekarang. “Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan tuntunan dalam bermualamah atau berbisnis. Tuntutan tersebut diperlihatkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam setiap aspek kehidupan,” kata Yunizar, Ph.D. Ia mengungkapkan empat prinsip berbisnis yang pernah dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW. Prinsip pertama adalah mendapatkan penghasilan halal dengan usaha sendiri. Prinsip kedua adalah tidak berbisnis barang dan perdagangan yang terlarang, prinsip ketiga adalah selalu bersikap baik dalam hubungan dagang, dan prinsip keempat adalah adanya persetujuan antara pembeli dan pedagang.

Bukan Meng-Islamkan

Pengamat ekonomi asal Jerman, mengungkapkan bahwa diterapkannya prinsip ekonomi Islam yang bermoral dan beretika dalam berbisnis bukan berarti meng-Islamkan dunia. Menurutnya, digunakannya ekonomi Islam hanya untuk mengeneralisasikan nilai etika dan norma objektif dalam Islam. “Saya tidak menyebut bahwa dengan ekonomi Islam berarti membuat semua orang di dunia memeluk agama Islam. Yang saya maksud adalah nilai-nilai Islam dapat diambil oleh semua orang, sehingga menghasilkan kehidupan ekonomi yang bermoral dan berkeadilan,” ungkap Dr. Peter yang merupakan non-muslim.

Sementara itu, pembicara lainnya, Izzuddin Abdul Manaf, Lc. MA. menilai bahwa sistem ekonomi yang berlandaskan Islam sangat minim risiko dibanding sistem ekonomi konvensional. Hal tersebut, kata Izzuddin, dikarenakan dalam Islam diterapkan sejumlah hukum dan ketentuan yang tidak dimiliki dalam sistem ekonomi konvensional. “Misalnya tidak menjual sesuatu yang belum ada dalam penguasaan atau sesuatu yang tidak dimiliki,” lanjut Izzuddin yang juga dosen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Sebi, Ciputat. (Laporan oleh: Ratih Anbarini)

Data di ambil dari : http://konsultasimuamalat.wordpress.com/2010/03/26/prinsip-ekonomi-islam-utamakan-moral-dan-etika-dalam-berbisnis/

Prinsip Ekonomi Islam Utamakan Moral dan Etika dalam Berbisni

Sistem ekonomi kapitalis yang dianut sebagian besar negara di dunia dipercaya sebagai salah satu penyebab paling dominan terjadinya krisis ekonomi global. Kapitalisme yang hanya berorientasi pada pasar dan keuntungan tidak menerapkan sistem moral dalam menjalankan praktik bisnisnya. Hal inilah yang menyebabkan hancurnya perekonomian sejumlah negara dan maraknya pelaku bunuh diri akibat tanggungan kerugian yang begitu besar.

Dr. Phil Peter Schmiedel saat memaparkan materinya mengatakan, nilai-nilai Islam dapat diterapkan ke seluruh dunia agar tercipta ekonomi yang bermoral dan berkeadilan. Perbincangan mengenai perlunya sistem moral dan etika dalam berbisnis itu
dibahas dalam Seminar dan Lokakarya “Sharia Economics” dengan tema “Economic and Business Ethnic in Islam and Western Civilization: Contribution to Global
Business Governance After Crisis”.

Kegiatan yang digagas Pusat Studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi (FE) Unpad tersebut berlangsung Rabu (2/09) di Ruang Multimedia FE Unpad dan dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai instansi. “Penelitian yang dilakukan Jeffrey Seglin dalam artikelnya berjudul Do It Right pada November 2001 menyebutkan bahwa perusahaan yang mengedepankan etika dan moral dalam berbisnis lebih berhasil dibanding perusahaan yang hanya mengejar profit. Dari penelitian tersebut jelas bahwa etika dalam melakukan kegiatan ekonomi harus menjadi suatu kebutuhan,” ungkap salah satu pembicara, Yunizar, Ph.D. yang juga merupakan dosen FE Unpad.

Ia menyebut bahwa selama abad 20, tidak kurang dari 32 krisis ekonomi global melanda dunia. Menurutnya, krisis ekonomi global yang melanda dunia sangat dimungkinkan oleh praktik-praktik bisnis yang tidak mengedepankan moral sebagai sistem nilai. “Dengan kata lain, krisis yang terjadi lebih disebabkan semakin jauhnya praktik-praktik bisnis dari nilai dan aturan Ilahi,” tuturnya. Dalam paparannya berjudul “Relevansi Etika Bisnis dalam Bisnis Global: Perspektif Islam”, Yunizar, Ph.D. mengungkapkan bahwa pentingnya etika dalam berbisnis semakin meluas sebagai respon terhadap gelombang skandal korporasi dari tahun 1980 hingga sekarang. “Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan tuntunan dalam bermualamah atau berbisnis. Tuntutan tersebut diperlihatkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam setiap aspek kehidupan,” kata Yunizar, Ph.D. Ia mengungkapkan empat prinsip berbisnis yang pernah dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW. Prinsip pertama adalah mendapatkan penghasilan halal dengan usaha sendiri. Prinsip kedua adalah tidak berbisnis barang dan perdagangan yang terlarang, prinsip ketiga adalah selalu bersikap baik dalam hubungan dagang, dan prinsip keempat adalah adanya persetujuan antara pembeli dan pedagang.

Bukan Meng-Islamkan

Pengamat ekonomi asal Jerman, mengungkapkan bahwa diterapkannya prinsip ekonomi Islam yang bermoral dan beretika dalam berbisnis bukan berarti meng-Islamkan dunia. Menurutnya, digunakannya ekonomi Islam hanya untuk mengeneralisasikan nilai etika dan norma objektif dalam Islam. “Saya tidak menyebut bahwa dengan ekonomi Islam berarti membuat semua orang di dunia memeluk agama Islam. Yang saya maksud adalah nilai-nilai Islam dapat diambil oleh semua orang, sehingga menghasilkan kehidupan ekonomi yang bermoral dan berkeadilan,” ungkap Dr. Peter yang merupakan non-muslim.

Sementara itu, pembicara lainnya, Izzuddin Abdul Manaf, Lc. MA. menilai bahwa sistem ekonomi yang berlandaskan Islam sangat minim risiko dibanding sistem ekonomi konvensional. Hal tersebut, kata Izzuddin, dikarenakan dalam Islam diterapkan sejumlah hukum dan ketentuan yang tidak dimiliki dalam sistem ekonomi konvensional. “Misalnya tidak menjual sesuatu yang belum ada dalam penguasaan atau sesuatu yang tidak dimiliki,” lanjut Izzuddin yang juga dosen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Sebi, Ciputat. (Laporan oleh: Ratih Anbarini)

Data di ambil dari : http://konsultasimuamalat.wordpress.com/2010/03/26/prinsip-ekonomi-islam-utamakan-moral-dan-etika-dalam-berbisnis/

Sabtu, 01 Januari 2011

MASALAH POKOK DALAM ETIKA BISNIS

Andaikan anda adalah seorang direktur teknik yang harus menerapkan teknologi baru. Anda tahu teknologi ini diperlukan dapat meningkatkan efisiensi industri, namun pada saat yang sama juga membuat banyak pegawai yang setia akan kehilangan pekerjaan, karena teknologi ini hanya memerlukan sedikit tenaga kerja saja. Bagaimana sikap anda? Dilema moral ini menunjukkan bahwa masalah etika juga meliputi kehidupan bisnis. Perusahaan dituntut untuk menetapkan patokan etika yang dapat diserap oleh masyarakat dalam pengambilan keputusannya. Sedangkan di pihak lain, banyak masyarakat menganggap etika itu hanya demi kepentingan perusahaan sendiri. Tantangan yang dihadapi serta kesadaran akan keterbatasan perusahaan dalam memperkirakan dan mengendalikan setiap keputusannya membuat perusahaan semakin sadar tentang tantangan etika yang harus dihadapi.

INOVASI, PERUBAHAN DAN LAPANGAN KERJA
Aspek bisnis yang paling menimbulkan pertanyaan menyangkut etika adalah inovasi dan perubahan. Sering terjadi tekanan untuk berubah membuat perusahaan atau masyarakat tidak mempunyai pilihan lain. Perusahaan harus menanam modal pada mesin dan pabrik baru yang biasanya menimbulkan masalah karena ketidakcocokan antara keahlian tenaga kerja yang dimiliki dan yang dibutuhkan oleh teknologi baru. Sedangkan perusahaan yang mencoba menolak perubahan teknologi biasanya menghadapi ancaman yang cukup besar sehingga memperkuat alasan perlunya melakukan perubahan. Keuntungan ekonomis dari inovasi dan perubahan biasanya digunakan sebagai pembenaran yang utama.
Sayangnya biaya sosial dari perubahan jarang dibayar oleh para promotor inovasi. Biaya tersebut berupa hilangnya pekerjaan, perubahan dalam masyarakat, perekonomian, dan lingkungan. Biaya-biaya ini tak mudah diukur. Tantangan sosial yang paling mendasar berasal dari masyarakat yang berdiri di luar proses. Dampak teknologi baru bukan mustahil tak dapat diprediksi. Kewaspadaan dan keterbukaan yang berkesinambungan merupakan tindakan yang penting dalam usaha perusahaan memenuhi kewajibannya.
Dampak inovasi dan perubahan terhadap tenaga kerja menimbulkan banyak masalah dibanding aspek pembangunan lainnya. Banyak pegawai menganggap inovasi mengecilkan kemampuan mereka. Hal ini mengubah kondisi pekerjaan serta sangat mengurangi kepuasan kerja. Perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk menyediakan lapangan kerja dan menciptakan tenaga kerja yang mampu bekerja dalam masa perubahan. Termasuk di dalamnya adalah
mendukung, melatih, dan mengadakan sumber daya untuk menjamin orang-orang yang belum bekerja memiliki keahlian dan dapat bersaing untuk menghadapi dan mempercepat perubahan.

PASAR DAN PEMASARAN
Monopoli adalah contoh yang paling ekstrem dari distorsi dalam pasar. Ada banyak alasan untuk melakukan konsentrasi industri, misal, meningkatkan kemampuan berkompetisi, memudahkan permodalan, hingga semboyan “yang terkuat adalah yang menang”. Penyalahgunaan kekuatan pasar melalui monopoli merupakan perhatian klasik terhadap bagaimana pasar dan pemasaran dilaksanakan. Kecenderungan untuk berkonsentrasi dan kekuatan nyata dari perusahaan raksasa harus dilihat secara hati-hati.
Banyak kritik diajukan pada aspek pemasaran, misal, penyalahgunaan kekuatan pembeli, promosi barang yang berbahaya, menyatakan nilai yang masih diragukan, atau penyalahgunaan spesifik lain, seperti iklan yang berdampak buruk bagi anak-anak. Diperlukan kelompok penekan untuk mengkritik tingkah laku perusahaan. Negara pun dapat menentukan persyaratan dan standar.

PENGURUS DAN GAJI DIREKSI
Unsur kepengurusan adalah bagian penting dari agenda kebijaksanaan perusahaan karena merupakan kewajiban yang nyata dalam bertanggungjawab terhadap barang dan dana orang lain. Perusahaan wajib melaksanakan pengurusan manajemen dengan tekun atas semua harta yang dipertanggungjawabkan pada pemberi tugas. Tugas terutama berada pada pundak direksi yang diharapkan bertindak loyal, dapat dipercaya, serta ahli dalam menjalankan tugasnya. Mereka tidak boleh menyalahgunakan posisinya. Mereka bertanggung jawab pada perusahaan juga undang-undang. Dalam hal ini auditing memegang peranan penting dalam mempertahankan stabilitas antara kebutuhan manajer untuk menjalankan tugasnya dan hak pemegang saham untuk mengetahui apa yang sedang dikerjakan para manajer. Perdebatan mengenai gaji direksi terjadi karena adanya ketidakadilan dalam proses penentuannya, ruang gerak yang dimungkinkan bagi direksi, kurang jelasnya hubungan antara kinerja organisasi dan penggajian, paket-paket tambahan tersembunyi dan kelemahan dalam pengawasan. Tampaknya gaji para direksi meningkat, sementara tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata cenderung menurun, dan nilai saham berfluktuasi. Hal ini menimbulkan kritik dan kesadaran untuk menyoroti kenaikan gaji para eksekutif senior. Informasi dan pembatasan eksternal merupakan unsur penting dalam upaya menyelesaikan penyalahgunaan yang terjadi.

TANTANGAN MULTINASIONAL
Sering terjadi, perusahaan internasional mengambil tindakan yang tak dapat diterima secara lokal. Banyak pertanyaan mendasar bagi perusahaan multinasional, seperti kemungkinan masuknya nilai moral budaya ke budaya masyarakat lain, atau kemungkinan perusahaan mengkesploitasi lubang-lubang perundang-undangan dalam sebuah negara demi kepentingan mereka. Dalam prakteknya, perusahaan internasional mempengaruhi perkembangan ekonomi sosial masyarakat suatu negara. Mereka dapat mensukseskan aspirasi negara atau justru malah membuat frustasi dengan menghambat tujuan nasional. Hal ini meningkatkan kewajiban bagi perorangan maupun industri untuk melaksanakan aturan kode etik secara internal maupun eksternal.

(Sumber: Tom Cannon, Coporate Responsibility) http://indosdm.com/masalah-pokok-dalam-etika-bisnis

ETIKA BISNIS

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat.

Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.

Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :

  • Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.

  • Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.

  • Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.

Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.

Biasanya dimulai dari perencanaan strategis, organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang handal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, karena :

  • Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.

  • Mampu meningkatkan motivasi pekerja.

  • Melindungi prinsip kebebasan berniaga

  • Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.

Tidak bisa dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan.

Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika bisnis, pada umumnya termasuk perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis, misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier.

Perlu dipahami, karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus semaksimal mungkin harus mempertahankan karyawannya.

Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :

  • Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)

  • Memperkuat sistem pengawasan

  • Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.

Data di ambil Dari : http://www.anneahira.com/artikel-umum/etika-bisnis.htm